Bagi kalangan Baby boomer dan generasi
X (yang lahir sebelum tahun 1980) cukup familiar dengan istilah ini bahkan merindukan
kembali acara ini sebagai kenangan indah
masa kecil. Untuk generasi yang lahir setelah tahun 80 an mungkin hanya
sebagian kecil yang mengalami takiran. Mereka mungkin menganggap takiran sebagai acara yang kuno dan
tidak cocok untuk masa sekarang sehingga tak perlu dikenang.
Takiran adalah acara makan
bersama suatu kelompok lingkungan masyarakat dimana masing-masing anggota masyarakat
menyediakan makanan dibungkus daun pisang, dikumpulkan dan saling bertukar.
Acara ini dilaksanakan pada peringatan Maulid Nabi, Isra Mi’raj, 10 Muharam,
Tarawih (likuran) atau perhelatan keagamaan yang lain. Makanan dibungkus daun pisang ini
sebenarnya ada 3 model cara membungkusnya yaitu ditum, pincuk dan takir namun
acara makan bersama ini diberi nama takiran.
Pada masa itu walaupun masyarakat
belum makmur artinya makan masih sederhana, namun untuk takiran mereka tidak
akan sembrono. Mereka akan membuat lauk yang istimewa dengan menyembelih ayam
atau mengambil ikan dikolam. Mereka berprinsip memberi kepada orang lain adalah
harus istimewa bukan memberi yang jelek dapat yang baik. Ketika pembagian takir
apapun yang diterima mereka sangat senang dan tidak pernah berfikir dia membawa
apa dapat apa. Disinilah makna kerukunan dalam masyarakat tergambar dengan
nyata.
Secara
etimologis kata takir sendiri berasal dari "nata" karo
"mikir" (menata dan berpikir) yang bermakna bahwa dalam kehidupan
senantiasa harus mempertimbangkan dan menata setiap langkah yang diambil dengan
pemikiran tenang, seksama, mendalam dan berhati-hati agar mendapatkan hasil
yang terbaik. Memberi kepada orang lain harus yang terbaik sedangkan apapun
yang kita terima itulah rizqi kita.
Acara takiran makan bersama ini dilaksanakan diakhir kegiatan
setelah semua selesai. Ibu-ibu dan
remaja putri membagikan takir pada seluruh peserta tanpa terkecuali. Acara ini
sangat ditunggu-tungu oleh anak-anak
jaman itu. Pada saat pembagian takir semua hati brdebar-debar menebak lauk apa yang akan
diterima. Ketika takir sudah diterima anak-anak akan langsung menyobek tutup bagian
atas takir untuk mengintip apa isi
lauknya. Masing-masing akan memamerkan lauk yang didapat dan memakanya dengan
lahap setelah dipimpin berdoa. Lauk takiran sudah pasti lebih istimewa dari
makanan yang mereka makan sehari-hari.
Acara takiran ini salah satu potret kerukunan masyarakat kita
pada masa itu. Mereka masih merasa bersaudara dan saling membutuhkan, memberi
dengan tulus, menerima dengan ikhlas. Hati mereka belum terkontaminasi dengan
materi duniawi. Memberi yang terbaik merupakan kepuassan tersendiri bagi
masyarakat kala itu.
Saat ini acara takiran sudah bergeser menjadi prasmanan dimana
semua makanan diseragamkan untuk menghindari ketidakseimbangan yang kaya dengan
yang miskin. Terkadang anggota tinggal membayar iuran nanti ada memasak dan
pembagianya menggunakan piring, dus kotak atau sterofom. Disamping sudah sulit
mencari daun pisang juga lebih praktis dan banyak tersedia diwarung-warung.
Mau tidak mau kita tetap harus mengakui bahwa makanan yang
dibungkus dengan daun pisang aroma dan rasanya lebih nikmat dibanding bungkus
kertas atau sterofom. Perubahan social akan terus berjalan seiring dengan
perkembangan peradaban manusia. Kita
tidak harus kembali ke masa lalu tapi kita harus belajar dari masa lalu untuk bertindak
dimasa sekarang dan mempersiapkan masa depan. Tradisi takiran mungkin boleh
saja menghilang tapi semangat kebersamaan, kerukunan dan keikhlasan tidak boleh
luntur dari jiwa kita.
Ajibarang, 9 Syawal 1441 H
Silaturahmi digital lewat goresan.
Selamat menikmati budaya kita yang adiluhung. Ketone sederhana namun syarat makna.
BalasHapusSebaiknya sebelumakan rakor ada sedikit penjelasan maknanya.
Sehingga TDK sekedar makan.
Hidup takiran...
Semoga berperan merekatkan kembali kerukunan kita.