Mendung menggelayut dilangit
pagi ketiga Iedul Fitri. Kebijakan PSBB menciptakan suasana lengang jalanan
beraspal yang aku lewati. Kutelusuri jalan sambil menunggu munculnya sang
mentari memberi kehangatan permukaan bumi. Kupacu motorku pelahan sambil
menikmati panorama disamping kanan kiri. Kuhirup udara pagi sebagai kompensasi berdiam dirumah berhari-hari.
Pagi ini rute perjalananku adalah
Ajibarang – Wangon – Jeruklegi. Aku ingin melihat sendiri suasana Idul fitri
ditengah situasi pendemi. Sampai sejauh mana msyarakat kita mampu menahan diri
untuk tidak pergi. Aku merasakan sendiri jalanan terasa sangat sepi walaupun
ada beberapa kendaraan pengangkut barang dan kendaraan pribadi. Angkutan
penumpang hampir tidak ada sama sekali. Jalan serasa milik sendiri sehingga
bisa berakting seperti Valentine Rossi.
Diperempatan Wangon aku sempatkan
berhenti. Kuamati suasana kota begitu sepi tak seperti suasana sehari-hari.
Kupacu motorku kembali kearah selatan menuju Jeruklegi. Jalan yang sepi
kunikmati dengan senandung bahagia dihati. Sesekali aku berhenti sekedar untuk
berfoto selfie. Mengabadikan setiap moment dalam perjalanan kali ini.
Sampai pertigaan Jeruklegi
kubelokan motorku kekanan dengan hati-hati. Kususuri jalanan yang mulai berliku
dan mendaki. Jalanan terlihat basah pertanda gerimis baru saja berhenti.
Perjalanan semakin menawan hati melewati deretan hutan jati disisi kanan dan
kiri.
Jika bukan masa pendemi jalan ini
padat sekali. Jalur selatan sangat diminati pengendara jalur Jakarta –
Bandung – Cilacap – Yogyakarta karena kondisi
jalanya bagus dan sepi. Apalagi pemandangan indah dan sejuk sepanjang hutan jati. Banyak tempat berhenti
untuk istirahat dan minum kopi ditengah hutan jati semakin membuat suasana tambah asri.
Aku berhenti untuk menepi
kesebuah warung yang terletak disisi kiri. Kuparkir motorku segera kupesan
segelas kopi. Kuambil mendhoan yang masih panas yang teredia diatas baki.
Kunikmati panasnya mendhoan selagi belum datang segelas kopi. Mendhoan panas
dan segelas kopi ditengah hutan jati perpaduan kuliner yang penuh sensasi. Kuhirup kopi pelahan sambil meresapi nikmat
aroma dan rasa yang membangkitkan
inspirasi.
Kulihat sekeliling warung yang bersih
dan tertata rapi. Bangunan warung sederhana dari bambu ini berjarak sekitar 6 meter dari tepi jalan sehingga area
parkir cukup memadai. Ada satu meja panjang dengan bangku bambu panjang muat 6
orang disisi kanan kiri
. Disebelah samping dan belakang ada gubuk lagi model panggung beralaskan tikar dengan
meja-meja pendek tanpa kursi untuk yang lebih suka lesehan.
Makanan dan minuman kemasan di
meja berbentuk leter L didalamnya terdapat perabot dapur untuk memasak dan
menyajikan makanan serta minuman. Ada ketupat, tempe yang siap digoreng sehingga kita selalu menikmatinya dalam keadaan panas, makanan ringan dan
macam-macam mie instan . Untuk minumanpun tersedia minuman seperti
teh, kopi, susu, jahe. Dibagian depan warung bertumpuk kelapa muda yang
siap kupas dan dinikmati kesegaranya.
Pagi ini aku adalah pembeli
pertamanya. Sambil mmenikmati mendoan dan dan kopi aku ngobrol dengan pemilik
warung.
“ Bagaimana suasana lebaran tahun
ini Bu ?” tanyaku memulai obrolan.
“ Wah jauh sekali mas, turun 80%
dari biasanya.” jawabnya antusias.
“Patokanya apa Bu?” kejarku
penasaran.
“ Biasanya kalau lebaran saya
bisa menghabiskan seribu butir kelapa muda. Sekarang sampai hari ketiga lebaran
ini baru tigapuluh butir. Sehari paling banyak 11 butir.” jawabnya.
Aku diam sambil menyeruput kopi
yang mulai dingin. Ternyata pendemi covid 19 ini membuat ekonomi terpuruk luar
biasa. Jalanan yang biasanya ramai banyak orang yang mampir kewarung sekarang
sepi. Aku masih bersyukur sebagai guru honorer betapapun gajiku tidak seberapa
tapi saat pendemi ini aku masih menikmati gaji tiap bulan. Akubisa melakukan
traveling mendengarkan curhat ibu warung yang ekonominya terdampak covid
19. Nikmat
tuhan manakah yang kamu dustakan.
Tak lama kemudian sebuah mobil
sedan berhenti dan parker di depan warung. Ketika pintu terbuka turun suami
istri dengan dua anak remaja sepertinya sebuah keluarga muda. Ibu wrung
tersenyum cerah menyambut rizqi yang datang pagi ini. Aku berdiri membayar
segelas teh dengan dua lembar mendhoan ukuran jumbo hanya Rp 10.000.
“ Trimakasih mas njenengan
pembeli pertama yang nglarisi warung saya.” katanya dengan nada yang kurasakan
sangat tulus.
“Semoga hari ini rizqi ibu
melimpah dan berkah.” kataku sambil keluar warung menuju motorku.
“Aamiin.” jawabnya semangat
dengan penuh rasa optimis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar