Minggu, 31 Mei 2020

TAKIRAN



Bagi kalangan Baby boomer dan generasi X (yang lahir sebelum tahun 1980) cukup familiar dengan istilah ini bahkan merindukan kembali acara ini  sebagai kenangan indah masa kecil. Untuk generasi yang lahir setelah tahun 80 an mungkin hanya sebagian kecil yang mengalami takiran. Mereka mungkin  menganggap takiran sebagai acara yang kuno dan tidak cocok untuk masa sekarang sehingga tak perlu dikenang.

Takiran adalah acara makan bersama suatu kelompok lingkungan masyarakat dimana masing-masing anggota masyarakat menyediakan makanan dibungkus daun pisang, dikumpulkan dan saling bertukar. Acara ini dilaksanakan pada peringatan Maulid Nabi, Isra Mi’raj, 10 Muharam, Tarawih (likuran) atau perhelatan keagamaan  yang lain. Makanan dibungkus daun pisang ini sebenarnya ada 3 model cara membungkusnya yaitu ditum, pincuk dan takir namun acara makan bersama ini diberi nama takiran.

Pada masa itu walaupun masyarakat belum makmur artinya makan masih sederhana, namun untuk takiran mereka tidak akan sembrono. Mereka akan membuat lauk yang istimewa dengan menyembelih ayam atau mengambil ikan dikolam. Mereka berprinsip memberi kepada orang lain adalah harus istimewa bukan memberi yang jelek dapat yang baik. Ketika pembagian takir apapun yang diterima mereka sangat senang dan tidak pernah berfikir dia membawa apa dapat apa. Disinilah makna kerukunan dalam masyarakat tergambar dengan nyata.

Secara etimologis kata takir sendiri berasal dari "nata" karo "mikir" (menata dan berpikir) yang bermakna bahwa dalam kehidupan senantiasa harus mempertimbangkan dan menata setiap langkah yang diambil dengan pemikiran tenang, seksama, mendalam dan berhati-hati agar mendapatkan hasil yang terbaik. Memberi kepada orang lain harus yang terbaik sedangkan apapun yang kita terima itulah rizqi kita.
Acara takiran makan bersama ini dilaksanakan diakhir kegiatan setelah semua  selesai. Ibu-ibu dan remaja putri membagikan takir pada seluruh peserta tanpa terkecuali. Acara ini sangat  ditunggu-tungu oleh anak-anak jaman itu. Pada saat pembagian takir semua  hati brdebar-debar menebak lauk apa yang akan diterima. Ketika takir sudah diterima anak-anak akan langsung menyobek tutup bagian atas takir  untuk mengintip apa isi lauknya. Masing-masing akan memamerkan lauk yang didapat dan memakanya dengan lahap setelah dipimpin berdoa. Lauk takiran sudah pasti lebih istimewa dari makanan yang mereka makan sehari-hari.


Acara takiran ini salah satu potret kerukunan masyarakat kita pada masa itu. Mereka masih merasa bersaudara dan saling membutuhkan, memberi dengan tulus, menerima dengan ikhlas. Hati mereka belum terkontaminasi dengan materi duniawi. Memberi yang terbaik merupakan kepuassan tersendiri bagi masyarakat kala itu.

Saat ini acara takiran sudah bergeser menjadi prasmanan dimana semua makanan diseragamkan untuk menghindari ketidakseimbangan yang kaya dengan yang miskin. Terkadang anggota tinggal membayar iuran nanti ada memasak dan pembagianya menggunakan piring, dus kotak atau sterofom. Disamping sudah sulit mencari daun pisang juga lebih praktis dan banyak tersedia diwarung-warung.

Mau tidak mau kita tetap harus mengakui bahwa makanan yang dibungkus dengan daun pisang aroma dan rasanya lebih nikmat dibanding bungkus kertas atau sterofom. Perubahan social akan terus berjalan seiring dengan perkembangan  peradaban manusia. Kita tidak harus kembali ke masa lalu tapi kita harus belajar dari masa lalu untuk bertindak dimasa sekarang dan mempersiapkan masa depan. Tradisi takiran mungkin boleh saja menghilang tapi semangat kebersamaan, kerukunan dan keikhlasan tidak boleh luntur dari jiwa kita.


Ajibarang, 9 Syawal 1441 H
Silaturahmi digital lewat goresan.

Kamis, 28 Mei 2020

MENDHOAN DI TENGAH HUTAN JATI


Mendung menggelayut dilangit pagi  ketiga Iedul Fitri. Kebijakan  PSBB menciptakan suasana lengang jalanan beraspal yang aku lewati. Kutelusuri jalan sambil menunggu munculnya sang mentari memberi kehangatan permukaan bumi. Kupacu motorku pelahan sambil menikmati panorama disamping kanan kiri. Kuhirup udara pagi sebagai kompensasi berdiam dirumah berhari-hari.

Pagi ini rute perjalananku adalah Ajibarang – Wangon – Jeruklegi. Aku ingin melihat sendiri suasana Idul fitri ditengah situasi pendemi. Sampai sejauh mana msyarakat kita mampu menahan diri untuk tidak pergi. Aku merasakan sendiri jalanan terasa sangat sepi walaupun ada beberapa kendaraan pengangkut barang dan kendaraan pribadi. Angkutan penumpang hampir tidak ada sama sekali. Jalan serasa milik sendiri sehingga bisa berakting seperti Valentine Rossi.

Diperempatan Wangon aku sempatkan berhenti. Kuamati suasana kota begitu sepi tak seperti suasana sehari-hari. Kupacu motorku kembali kearah selatan menuju Jeruklegi. Jalan yang sepi kunikmati dengan senandung bahagia dihati. Sesekali aku berhenti sekedar untuk berfoto selfie. Mengabadikan setiap moment dalam perjalanan kali ini.

Sampai pertigaan Jeruklegi kubelokan motorku kekanan dengan hati-hati. Kususuri jalanan yang mulai berliku dan mendaki. Jalanan terlihat basah pertanda gerimis baru saja berhenti. Perjalanan semakin menawan hati melewati deretan hutan jati disisi kanan dan kiri.

Jika bukan masa pendemi jalan ini padat sekali. Jalur selatan sangat diminati pengendara jalur Jakarta – Bandung – Cilacap – Yogyakarta karena kondisi  jalanya bagus dan sepi. Apalagi pemandangan indah dan sejuk  sepanjang hutan jati. Banyak tempat berhenti untuk istirahat dan minum kopi ditengah hutan jati semakin membuat suasana tambah asri.

Aku berhenti untuk menepi kesebuah warung yang terletak disisi kiri. Kuparkir motorku segera kupesan segelas kopi. Kuambil mendhoan yang masih panas yang teredia diatas baki. Kunikmati panasnya mendhoan selagi belum datang segelas kopi. Mendhoan panas dan segelas kopi ditengah hutan jati perpaduan kuliner yang penuh sensasi.  Kuhirup kopi pelahan sambil meresapi nikmat aroma dan rasa yang membangkitkan  inspirasi.

Kulihat sekeliling warung yang bersih dan tertata rapi. Bangunan warung sederhana dari bambu ini berjarak  sekitar 6 meter dari tepi jalan sehingga area parkir cukup memadai. Ada satu meja panjang dengan bangku bambu panjang muat 6 orang  disisi kanan kiri  . Disebelah samping dan belakang ada gubuk lagi  model panggung beralaskan tikar dengan meja-meja pendek tanpa kursi untuk yang lebih suka lesehan.

Makanan dan minuman kemasan di meja berbentuk leter L didalamnya terdapat perabot dapur untuk memasak dan menyajikan makanan serta minuman. Ada ketupat, tempe yang siap digoreng sehingga kita selalu menikmatinya dalam keadaan panas, makanan ringan dan macam-macam mie instan . Untuk minumanpun tersedia minuman  seperti  teh, kopi, susu, jahe. Dibagian depan warung bertumpuk kelapa muda yang siap kupas dan dinikmati kesegaranya.

Pagi ini aku adalah pembeli pertamanya. Sambil mmenikmati mendoan dan dan kopi aku ngobrol dengan pemilik warung.

“ Bagaimana suasana lebaran tahun ini Bu ?” tanyaku memulai obrolan.
“ Wah jauh sekali mas, turun 80% dari biasanya.” jawabnya antusias.
“Patokanya apa Bu?” kejarku penasaran.
“ Biasanya kalau lebaran saya bisa menghabiskan seribu butir kelapa muda. Sekarang sampai hari ketiga lebaran ini baru tigapuluh butir. Sehari paling banyak 11 butir.” jawabnya.

Aku diam sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ternyata pendemi covid 19 ini membuat ekonomi terpuruk luar biasa. Jalanan yang biasanya ramai banyak orang yang mampir kewarung sekarang sepi. Aku masih bersyukur sebagai guru honorer betapapun gajiku tidak seberapa tapi saat pendemi ini aku masih menikmati gaji tiap bulan. Akubisa melakukan traveling mendengarkan curhat ibu warung yang ekonominya terdampak covid 19.  Nikmat tuhan manakah yang kamu dustakan.

Tak lama kemudian sebuah mobil sedan berhenti dan parker di depan warung. Ketika pintu terbuka turun suami istri dengan dua anak remaja sepertinya sebuah keluarga muda. Ibu wrung tersenyum cerah menyambut rizqi yang datang pagi ini. Aku berdiri membayar segelas teh dengan dua lembar mendhoan ukuran jumbo hanya Rp 10.000.

“ Trimakasih mas njenengan pembeli pertama yang nglarisi warung saya.” katanya dengan nada yang kurasakan sangat  tulus. 
“Semoga hari ini rizqi ibu melimpah dan berkah.” kataku sambil keluar warung menuju motorku.
“Aamiin.” jawabnya semangat dengan penuh rasa optimis.

Rabu, 27 Mei 2020

TELAGA KUMPE



Telaga Kumpe adalah sebuah telaga kecil dikaki gunung Slamet yang indah. Lokasinya dilereng selatan gunung Slamet diantara dua lokawisata yaitu curug Cipendok dan Baturaden. Awalnya teaga tertutup tanaman air sehingg permukaanya tidak kelihatan. Ketika sector pariwisata digalakan maka mulailah telaga Kumpe ditata ulang sehingga kecantikanya terlihat.
Jika kita hendak mengunjungi telaga Kumpe sarana transportasi jalan beraspal sudah bagus bisa dilewati kendaraan roda dua maupun empat. Jika menggunakan kendaraan pastikan kondisi mesin mobil dalam keadaan fit termasuk kondisi remnya. Kondisi jalan yang menanjak dan berkelok cukup memacu adrenalin. Tapi jangan kawatir karena sepanjang perjalanan kanan kirinya adalah hutan cemara yang indah dan sejuk.
Jalur yang bisa ditempuh jika dari arah kota Purwokerto kearah barat sampai jembatan sungai logawa dan mengaji belok kanan terus sampai desa Gununglurah lurus sampai desa Sambirata belok kanan naik keatas sampai lokasi. Bisa juga Purwokerto kebarat melewati kota  Cilongok  sampai pertigaan pondok Modern Zam-zam belok kanan sampai desa Panembangan terus naik sampai desa Sambirata. Jika dari  Ajibarang kearah  timur sampai pertigaan Losari belok kiri terus sampai jembatan kereta api belok kanan ke desa Panembangan kemudian belok kiri kearah desa Sambirata naik sampe ke telaga Kumpe

Perjalanan menuju lokasi memang cukup memacu adrenalin, tapi setelah sampai disana semuanya terbayar lunas. Keindahan telaga Kumpe dengan alam sekitarnya yang masih asri dengan udara yang sejuk mampu menghilangkan kelelahan selama perjalanan. Pengunjung bias bersantai ditepi telaga atau memancing ditelaga yang airnya sangat jernih. Diediakan juga kafe-kafe artistic dengan kuliner khas banyumas seperti mendoan,tahu kalisari dan cimplung. Banyak juga spot-spot berfoto dengan background telaga.

Bagi yang hobby camping dan hiking juga tersedia lokasi yang menarik dengan sarana yang dibutuhkan. Hutan pinus yang mengelilingi telaga dan perbukitan yang masih asri menjadi pesona tersendiri. Untuk yang ingin berkeliling telaga lewat air telah disediakan perahu dan sepeda air.  Telaga Kumpe merupakan deretan lokawisata sepanjang lereng selatan gunung Slamet. Setelah mengunjungi telaga Kumpe bisa menuju Curug Cipendok, Ger Manggis, Taman Panginyongan, Taman Teletubies. Sempatkan berwisata di Banyumas Barat wilayah kecamatan Cilongok. Nikmati keindahan alamnya, keramahan penduduknya, kulinernya,